Nasab
Beliau bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif
[bin ‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al
Minangkabawi [Al Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari
rahimahullah.
Syaikh Ahmad Al Khathib dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota Gadang,
Kec. Ampek Angkek Angkat Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada
hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di
tengah keluarga bangsawan. ‘Abdullah, kakek Syaikh Ahmad atau buyut
menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat
Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah
gelar Khathib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke
keturunannya di kemudian hari.
Ada perbedaan mengenai siapa kakek Syaikh Ahmad. Menurut ‘Umar ‘Abdul
Jabbar, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Mu’allimi, dan Ibrahim bin
‘Abdullah Al Hazimi, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdullah. Sedangkan
menurut Dadang A. Dahlan, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdurrahman yang
bergelar Datuk Rangkayo Basa. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas
Syaikh Ahmad berasal dari keluarga bangsawan, baik dari jalur ayah
maupun ibu.
Perjalanan Syaikh Ahmad dalam Thalabul ‘Ilmi
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam
pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja
atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari
mabadi’ (dasar-dasar)
ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula,
Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif,
ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian
ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat
sementara Ahmad tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Al
Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Makkah terutama yang
mengajar di Masjid Al Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru Syaikh Ahmad di Makkah adalah:
- Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
- Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
- Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’I (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan
mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikh Ahmad, yaitu:
- Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’I di Makkah-
- Yahya Al Qalyubi
- Muhammad Shalih Al Kurdi
Mengenai bagaimana semangat Syaikh Ahmad dalam
thalabul ‘ilmi, mari sejenak kita dengarkan penuturan seorang ulama yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar
rahimahullah dalam
Siyar wa Tarajim hal. 38-39, “…Beliau adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta ber
mudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam
muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic (ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (
handasah),
haiat, pembagian waris, ilmu miqat, dan
zij, beliau dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”
Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendudkung ilmu
diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.
Syaikh Ahmad Menikah dan Menjadi Seorang Ayah
Di antara kebiasaan Syaikh Ahmad di Makkah adalah menyeringkan diri
mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di
dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau
sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena
seringnya Syaikh Ahmad mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko,
Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui
kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama
serta keshalihannya.
Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikh Ahmad dibuktikan dengan
dijadikannya Syaikh Ahmad sebagai menantu. Ya. Setelah banyak mengetahui
tentang prihal dan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia itu, Shalih Al
Kurdi pun menikahkannya dengan putrid pertamanya yang kata Hamka dalam
Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikh Ahmad sempat ragu
menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi
dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun
mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan
Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan
kebutuhan hidup keluarga Syaikh Ahmad.
Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.
Tentang pengambilan Syaikh Ahmad sebagai menantu Shalih Al Kurdi,
Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda
telah menikahkan putrid Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai
berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di Makkah?” “Akan tetapi ia
adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal
Rasulullah
shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’
Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikh Ahmad dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).
Ternyata pernikahan Syaikh Ahmad dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.
Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan purinya
yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah
adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki
hafalan Al Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika
anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di
Timur Tengah, yaitu:
- ‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan
tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu
mempelajari adab dan politik.
- ‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair
kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta
besar Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudulSirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-
Kesuksesan Syaikh Ahmad dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi
tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu
berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran
Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah. Mari sejenak kita dengar
langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syaikh
Ahmad menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika
aku meminta sesuatu dari ayahku, beliau akan berkata,’Mintalah kepada
Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta).’ Aku pun balik
bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia berada di langit sana,’
jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak melihat-Nya.’
Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa
yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang
tadi kamu minta .’
Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku
dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku
telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku,
yah?’ Ayah pun segera menjawab, ‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka
kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku
sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat shalat, atau mungkin kamu
sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada
Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun segera
menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
Lihatlah, bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikh Ahmad
kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman
‘aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu
sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang
anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia
tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang
seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah,
bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata
bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang
pernah dipraktekkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang
ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan,
mintalah (pertolongan) kepada Allah.”
Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikh Ahmad kepada
keluarganya adalah beliau selalu menegur dan memperingati bagi siapa
saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal
yang dapat melalaikan termasuk alat-alat music dan nyanyian. Semua ini
dilakukan Syaikh Ahmad karena bentuk rasa sayangnya terhadap
keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci. Tidak
seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa
cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua
gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta.
Padahal boleh jadi prilaku-prilaku itu mengundang murka Allah
‘Azza wa Jalla. Akan
tetapi berbeda dengan Syaikh Ahmad, ia menyadari bahwa seorang ayah
kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul
‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikh Ahmad menganjurkan
kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak
bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja.
Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri
dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabda beliau, “Dan
laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadapnya.”
Karir Syaikh Ahmad di Makkah
Kealiman Syaikh Ahmad dibuktikan dengan dilangkatnya beliau menjadi
imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan
sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan
ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.
Mengenai sebab pengangkatan Syaikh Ahmad Al Khathib menjadi imam dan
khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat
pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus
tarajimnya,
Siyar wa Tarajim (hal.
39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu
diperoleh Syaikh Ahmad berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua,
kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikh Ahmad menjadi
imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka
rahimahullah dalam
Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang
kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz
Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika
dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur
Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui
itu Syaikh Ahmad pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan
beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur
Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi.
Lalu ditunjukkannya Syaikh Ahmad yang tak lain adalah menantu sahabat
karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan
kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikh Ahmad
sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
Sekelumit Aktifitas Keseharian Syaikh Ahmad Al Khathib
Keseharian para ulama memang sangat menakjubkan. Di setiap aktifitasnya selalu bernilai ibadah, sebagaimana kata pepatah Arab,
‘adatul ‘abdid ‘ibadah wa ‘ibadatul ghafil ‘adah (kebiasaannya
ahli ibadah itu bernilai ibadah sementara ibadahnya orang lalai itu
hanya bernilai kebiasaan saja). Mereka sangat mahir dalam membagi waktu
dan sangat berhati-hati dalam menggunakan waktunya. Meski mereka
memiliki aktifitas mengajar, akan tetapi tidak lantas melupakan hak
keluarganya. Mereka tahu kapan harus bercengkrama dengan keluarga dan
kapan harus pergi mengajar para muridnya. Demikianlah yang terjadi pada
diri seorang Syaikh Ahmad
rahimahullah.
Berhubungan dengan aktifitas keseharian Syaikh Ahmad, sebaiknya kita
dengar langsung saja penuturan Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar yang memang
hidup sezaman, “(Setelah mengajar para santri di Masjid Al Haram),
beliau pulang ke rumah untuk sarapan pagi dan berbaring (tidur-tiduran
atau dalam bahasa jawa
klekaran) sejenak, lalu kembali ber
mudzakarah sampai
datang waktu zhuhur. Pergilah beliau ke masjid untuk menunaikan shalat
zhuhur secara berjama’ah. (Usai shalat jama’ah), beliau pulang ke rumah
untuk menyampaikan dua mata pelajar an kepada murid-muridnya, lalu makan
siang dan tidur siang sesaat. Lalu beliau pergi ke masjid untuk
menunaikan shalat ‘Ashar secara berjama’ah, pulang ke rumah menyampaikan
satu pelajaran kepada para santri, kemudian mengulangi (
mudzakarah)
pelajaran-pelajarannya hingga datang maghrib. Beliau pun pergi ke
masjid untuk shalat berjama’ah dan menyampaikan satu pelajaran berupa
nasehat dan arahan sampai datang ‘Isya.
Setelah shalat, beliau pulang ke rumah untuk makan malam dan
bercengkrama dengan keluarganya lalu tidur sedini mungkin. Ia bangun
tidur pada sepertiga malam terakhir dan menyibukkan diri dengan menulis
sampai dekat waktu fajar, lalu pergi ke masjid. Ia pun memulai
aktifitasnya seperti biasanya. Demikianlah beliau menghabiskan hidupnya
dalam ketaatan kepada Allah dan menyebarkan agama-Nya.” [
Siyar wa Tarajim (hal. 40)]
Akhlak Syaikh Ahmad Al Khathib
Syaikh Ahmad Al Khathib dikenal ditengah masyarakat dengan baik
hatinya, mulia akhlaknya, lurus niatnya, tidak suka menjilat (cari
muka), dan amat murka dengan orang-orang yang sombong, dan lapang dadfa.
Itulah akhlak seorang ulama yang benar-benar mengamalkan ilmunya.
Meski kedudukannya tinggi, namun beliau tidak sombong. Justru dengan
kedudukannya yang tinggi itu, beliau manfaatkan untuk mengajarkan kepada
manusia nilai-nilai positif. Maka tidak heran apabila nama beliau harum
di kalangan manusia dan bahkan berkat akhlak mulianya itu dapat
mengundang ratusan santri dari berbagai kalangan untuk belajar
kepadanya.
Wafatnya Syaikh Ahmad
Pada tanggal 9 Jumadil Ula tahun 1334 H, Allah ‘memanggil’ Syaikh
Ahmad ke hadhirat-Nya setelah sekian lama hidup di dunia yang fana ini.
Ya, jatah beliau tinggal di dunia ini telah habis setelah
mencetak kader-kader yang hingga detik ini masih disebut-sebut. Jasad
beliau memang sudah tiada, namun kehadirannya seakan-akan masih bisa
dirasakan karena keilmuan dan peninggalan-peninggalannya berupa
murid-muridnya yang terus memperjuangkan misi-misinya dan terutama
karya-karya ilmiahnya yang masih terus dibaca hingga hari ini.
Rahimahullah wa askanahu fasiha jannatih.
Karya Tulis Syaikh Ahmad
Karya-karya tulis Syaikh Ahmad dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu
dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema
kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan
tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan
dengan Al Quran & Sunnah.
Karya-karya Syaikh Ahmad dalam bahasab ’Arab:
- Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
- Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
- Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
- Raudhatul Hussab
- Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
- As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
- Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
- An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
- Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
- Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
- Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
- Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
- Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
- Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
- Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
- As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
- Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
- Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
- Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
- Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
- Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
- Tanbihul Anam fir Radd ‘ala Risalah Kaffil ‘Awwam, sebuah kitab bantahan untuk risalah Kafful ‘Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari yang melarang kaum muslimin untuk nimbrung di Sarekat Islam (SI)
- Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
- Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
- Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
Adapun yang berbahasa Melayu adalah:
- Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
- Ar Riyadh Al Wardiyyah fi [Ushulit Tauhid wa] Al Fiqh Asy Syafi’i
- Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
- Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
- Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
- Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
- Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
- Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
- Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
- Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
- Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
- Izhhar Zughalil Kadzibin
- Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
- Al Jawi fin Nahw
- Sulamun Nahw
- Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
- Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
- Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
- Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
- Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
- Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu
Murid-Murid Syaikh Ahmad Rahimahullah
Mengenai murid-murid Syaikh Ahmad
rahimahullah, Siradjuddin
‘Abbas berkata, “Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hamper ulama
Syafi’I yang kemudian mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti
Syeikh Sulaiman Ar Rasuli, Syeikh Muhd. Jamil Jaho, Syeikh ‘Abbas
Qadhli, Syeikh Musthafa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan
banyak lagi ulama-ulama Indonesia pada tahun-tahun abad XIV adalah murid
dari Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau ini.” [Thabaqatus Syafi’iyah
(hal. 406)]
Ucapan senada juga dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama Nusantara
di banyak tempat.Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal
dalam Beberapa Aspek:Guru untuk Generasi Pertama Kau Muda. Namun
demikian, tidak salah kiranya kita sebutkan di sini beberapa
murid-muridnya yang menonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah yang
mereka lancarkan, di antaranya adalah:
- Syaikh ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz
Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah
Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang
membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru
setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
- Muhammad Darwis alias Ustadz Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman rahimahullah –pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah-.
- Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbangi rahimahullah –salah satu pendiri Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama-.
- Ustadz ‘Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al Irsyad
- Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjari rahimahullah –mufti Kerajaan Indragiri-.
- Muhammad Thaib ‘Umar
- Dan lain-lain.
Usaha (Juhud) Syaikh Ahmad dalam Memurnikan Ajaran Islam di Nusantara Khususnya dan Dunia Islam Umumnya
Usaha yang dilancarkan Syaikh Ahmad dalam memurnikan ajaran Islam
dari perkara-perkara bid’ah yang menyesatkan namun tidak disadari di
Nusantara diekspresikan melalui murid-murid dan karya-karyanya.
Adapun melalui karya-karyanya, Syaikh Ahmad sangat gigih dan keras
tanpa kompromi sediktpun dalam memberantas bid’ah, khurafat, tarikat,
ajaran menyimpang dan adat yang bertolak belakang dengan syariat. Dalam
masalah tarekat, misalnya, Syaikh Ahmad menulis minimal tiga kitab
rudud (bantahan), yaitu,
Izhhar Zaughalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang kemudian ditranslit ke dalam tulisan latin oleh A. Arief dengan judul Thariqat Naqasyabandiyah,
As Saiful Battar fi Mahq Kalimat Ba’dhil Aghrar , dan
Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat. Bahasan dalam kitab-kitab ini mengacu kepada kitab
Al Ba’its fi Inkaril Bida’ wal Hawadits karya Imam Abu Syamah
rahimahullah. Menurut Ustadz Hamka, sebagaimana yang dikutib Ustadz Armen Halim Naro
rahimahullah dalam salah satu kajiannya, metode bantahan kitab ini –
Al Izhhar- persis dengan bantahan yang diberikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah terhadap
orang-orang menyimpang di zamannya. Melalui karya-karya ini pula Syaikh
Ahmad membantah pandangan Syaikh Muhammad Sa’ad Mungka dan Syaikh Ali
Khathib yang gigih mempertahankan tharikat Naqsyabandiyyah.
Sebenarnya melalui judul-judul kitab-kitab Syaikh Ahmad saja kita
sudah faham kurang lebihnya bahasan yang disajikan dalam masing-masing
kitab trsebut. Misalnya kitab
Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’ yang
berarti pembelaan yang baik tentang larangan melakukan bid’ah, dapat
diasumsikan bahasan dalam kitab ini banyak berbicara masalah bid’ah dan
khurafat di tengah masyarakat. Ini menunjukkan bahwa usaha Syaikh Ahmad
benar-benar sangat berarti dalam pemurniat Islam di negerinya.
Dalam masalah adat yang menyimpang terutama dalam masalah waris dan harta pusaka, Syaikh Ahmad menulis
Ad Da’il Mamu’dan
Al Manhajul Masyru’. Kedua buku ini dicetak dalam satu jilid dengan
Ad Da’il Masmu’ dicetak dipinggiran
Al Manhajul Masyru’.
Tidak hanya sapai di situ perjuangan Syaikh Ahmad dalam membersihkan noda-noda keyakinan umat Islam, beliau juga membantah
syubhat-syubhat yang
dihembuskan Belanda terutama mempertanyakan keabsahan terjadinya isra’
dan mi’raj di tengah kaum muslimin di Indonesia. Beliau kemudian
membantah
syubhat-syubhat dalam bukunya,
Dha’us Siraj Pada Menyatakan Isra’ dan Mi’raj yang terbit tahun 1312 H. Berikutnya, beliau juga menulis
Irsyadul Hayara fi Radd Syubahin Nashara.
Ada kitab
Ar Riyadhul Wardiyyah fil Ushul wal Furu’ yang
beliau tulis dalam bahasa Melayu huruf ‘Arab, membicarakan masalah
dasar-dasar aqidah-tauhid dan fiqih syafi’I praktis supaya menjadi
pegangan orang-orang yang balu belajar dan ‘awwam dari kalangan kaum
muslimin. Kitab ini sudah dicetak berulang kali.
Allahua’lam.[]
sumber:muslim.or.id