Beliau bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif [bin ‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi [Al Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah.
Syaikh Ahmad Al Khathib dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota Gadang, Kec. Ampek Angkek Angkat Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di tengah keluarga bangsawan. ‘Abdullah, kakek Syaikh Ahmad atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khathib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.
Ada perbedaan mengenai siapa kakek Syaikh Ahmad. Menurut ‘Umar ‘Abdul Jabbar, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Mu’allimi, dan Ibrahim bin ‘Abdullah Al Hazimi, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdullah. Sedangkan menurut Dadang A. Dahlan, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdurrahman yang bergelar Datuk Rangkayo Basa. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas Syaikh Ahmad berasal dari keluarga bangsawan, baik dari jalur ayah maupun ibu.
Perjalanan Syaikh Ahmad dalam Thalabul ‘Ilmi
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Makkah terutama yang mengajar di Masjid Al Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru Syaikh Ahmad di Makkah adalah:
- Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
- Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
- Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’I (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikh Ahmad, yaitu: - Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’I di Makkah-
- Yahya Al Qalyubi
- Muhammad Shalih Al Kurdi
Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendudkung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.
Syaikh Ahmad Menikah dan Menjadi Seorang Ayah
Di antara kebiasaan Syaikh Ahmad di Makkah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikh Ahmad mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.
Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikh Ahmad dibuktikan dengan dijadikannya Syaikh Ahmad sebagai menantu. Ya. Setelah banyak mengetahui tentang prihal dan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putrid pertamanya yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikh Ahmad sempat ragu menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikh Ahmad. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.
Tentang pengambilan Syaikh Ahmad sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putrid Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di Makkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’
Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikh Ahmad dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).
Ternyata pernikahan Syaikh Ahmad dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.
Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan purinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:
- ‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik.
- ‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudulSirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-
Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’ Ayah pun segera menjawab, ‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat shalat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun segera menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
Lihatlah, bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikh Ahmad kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman ‘aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktekkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”
Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikh Ahmad kepada keluarganya adalah beliau selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat music dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syaikh Ahmad karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci. Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi prilaku-prilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syaikh Ahmad, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikh Ahmad menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabda beliau, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”
Karir Syaikh Ahmad di Makkah
Kealiman Syaikh Ahmad dibuktikan dengan dilangkatnya beliau menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.
Mengenai sebab pengangkatan Syaikh Ahmad Al Khathib menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikh Ahmad berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikh Ahmad menjadi imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikh Ahmad pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikh Ahmad yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikh Ahmad sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
Sekelumit Aktifitas Keseharian Syaikh Ahmad Al Khathib
Keseharian para ulama memang sangat menakjubkan. Di setiap aktifitasnya selalu bernilai ibadah, sebagaimana kata pepatah Arab,‘adatul ‘abdid ‘ibadah wa ‘ibadatul ghafil ‘adah (kebiasaannya ahli ibadah itu bernilai ibadah sementara ibadahnya orang lalai itu hanya bernilai kebiasaan saja). Mereka sangat mahir dalam membagi waktu dan sangat berhati-hati dalam menggunakan waktunya. Meski mereka memiliki aktifitas mengajar, akan tetapi tidak lantas melupakan hak keluarganya. Mereka tahu kapan harus bercengkrama dengan keluarga dan kapan harus pergi mengajar para muridnya. Demikianlah yang terjadi pada diri seorang Syaikh Ahmad rahimahullah.
Berhubungan dengan aktifitas keseharian Syaikh Ahmad, sebaiknya kita dengar langsung saja penuturan Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar yang memang hidup sezaman, “(Setelah mengajar para santri di Masjid Al Haram), beliau pulang ke rumah untuk sarapan pagi dan berbaring (tidur-tiduran atau dalam bahasa jawa klekaran) sejenak, lalu kembali bermudzakarah sampai datang waktu zhuhur. Pergilah beliau ke masjid untuk menunaikan shalat zhuhur secara berjama’ah. (Usai shalat jama’ah), beliau pulang ke rumah untuk menyampaikan dua mata pelajar an kepada murid-muridnya, lalu makan siang dan tidur siang sesaat. Lalu beliau pergi ke masjid untuk menunaikan shalat ‘Ashar secara berjama’ah, pulang ke rumah menyampaikan satu pelajaran kepada para santri, kemudian mengulangi (mudzakarah) pelajaran-pelajarannya hingga datang maghrib. Beliau pun pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah dan menyampaikan satu pelajaran berupa nasehat dan arahan sampai datang ‘Isya.
Setelah shalat, beliau pulang ke rumah untuk makan malam dan bercengkrama dengan keluarganya lalu tidur sedini mungkin. Ia bangun tidur pada sepertiga malam terakhir dan menyibukkan diri dengan menulis sampai dekat waktu fajar, lalu pergi ke masjid. Ia pun memulai aktifitasnya seperti biasanya. Demikianlah beliau menghabiskan hidupnya dalam ketaatan kepada Allah dan menyebarkan agama-Nya.” [Siyar wa Tarajim (hal. 40)]
Akhlak Syaikh Ahmad Al Khathib
Syaikh Ahmad Al Khathib dikenal ditengah masyarakat dengan baik hatinya, mulia akhlaknya, lurus niatnya, tidak suka menjilat (cari muka), dan amat murka dengan orang-orang yang sombong, dan lapang dadfa.
Itulah akhlak seorang ulama yang benar-benar mengamalkan ilmunya. Meski kedudukannya tinggi, namun beliau tidak sombong. Justru dengan kedudukannya yang tinggi itu, beliau manfaatkan untuk mengajarkan kepada manusia nilai-nilai positif. Maka tidak heran apabila nama beliau harum di kalangan manusia dan bahkan berkat akhlak mulianya itu dapat mengundang ratusan santri dari berbagai kalangan untuk belajar kepadanya.
Wafatnya Syaikh Ahmad
Pada tanggal 9 Jumadil Ula tahun 1334 H, Allah ‘memanggil’ Syaikh Ahmad ke hadhirat-Nya setelah sekian lama hidup di dunia yang fana ini. Ya, jatah beliau tinggal di dunia ini telah habis setelah mencetak kader-kader yang hingga detik ini masih disebut-sebut. Jasad beliau memang sudah tiada, namun kehadirannya seakan-akan masih bisa dirasakan karena keilmuan dan peninggalan-peninggalannya berupa murid-muridnya yang terus memperjuangkan misi-misinya dan terutama karya-karya ilmiahnya yang masih terus dibaca hingga hari ini. Rahimahullah wa askanahu fasiha jannatih.
Karya Tulis Syaikh Ahmad
Karya-karya tulis Syaikh Ahmad dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran & Sunnah.
Karya-karya Syaikh Ahmad dalam bahasab ’Arab:
- Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
- Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
- Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
- Raudhatul Hussab
- Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
- As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
- Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
- An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
- Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
- Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
- Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
- Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
- Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
- Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
- Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
- As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
- Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
- Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
- Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
- Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
- Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
- Tanbihul Anam fir Radd ‘ala Risalah Kaffil ‘Awwam, sebuah kitab bantahan untuk risalah Kafful ‘Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari yang melarang kaum muslimin untuk nimbrung di Sarekat Islam (SI)
- Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
- Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
- Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
Adapun yang berbahasa Melayu adalah: - Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
- Ar Riyadh Al Wardiyyah fi [Ushulit Tauhid wa] Al Fiqh Asy Syafi’i
- Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
- Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
- Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
- Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
- Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
- Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
- Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
- Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
- Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
- Izhhar Zughalil Kadzibin
- Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
- Al Jawi fin Nahw
- Sulamun Nahw
- Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
- Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
- Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
- Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
- Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
- Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu
Mengenai murid-murid Syaikh Ahmad rahimahullah, Siradjuddin ‘Abbas berkata, “Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hamper ulama Syafi’I yang kemudian mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti Syeikh Sulaiman Ar Rasuli, Syeikh Muhd. Jamil Jaho, Syeikh ‘Abbas Qadhli, Syeikh Musthafa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan banyak lagi ulama-ulama Indonesia pada tahun-tahun abad XIV adalah murid dari Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau ini.” [Thabaqatus Syafi’iyah (hal. 406)]
Ucapan senada juga dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama Nusantara di banyak tempat.Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam Beberapa Aspek:Guru untuk Generasi Pertama Kau Muda. Namun demikian, tidak salah kiranya kita sebutkan di sini beberapa murid-muridnya yang menonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarkan, di antaranya adalah:
- Syaikh ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
- Muhammad Darwis alias Ustadz Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman rahimahullah –pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah-.
- Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbangi rahimahullah –salah satu pendiri Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama-.
- Ustadz ‘Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al Irsyad
- Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjari rahimahullah –mufti Kerajaan Indragiri-.
- Muhammad Thaib ‘Umar
- Dan lain-lain.
Usaha yang dilancarkan Syaikh Ahmad dalam memurnikan ajaran Islam dari perkara-perkara bid’ah yang menyesatkan namun tidak disadari di Nusantara diekspresikan melalui murid-murid dan karya-karyanya.
Adapun melalui karya-karyanya, Syaikh Ahmad sangat gigih dan keras tanpa kompromi sediktpun dalam memberantas bid’ah, khurafat, tarikat, ajaran menyimpang dan adat yang bertolak belakang dengan syariat. Dalam masalah tarekat, misalnya, Syaikh Ahmad menulis minimal tiga kitab rudud (bantahan), yaitu, Izhhar Zaughalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang kemudian ditranslit ke dalam tulisan latin oleh A. Arief dengan judul Thariqat Naqasyabandiyah, As Saiful Battar fi Mahq Kalimat Ba’dhil Aghrar , dan Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat. Bahasan dalam kitab-kitab ini mengacu kepada kitab Al Ba’its fi Inkaril Bida’ wal Hawadits karya Imam Abu Syamah rahimahullah. Menurut Ustadz Hamka, sebagaimana yang dikutib Ustadz Armen Halim Narorahimahullah dalam salah satu kajiannya, metode bantahan kitab ini –Al Izhhar- persis dengan bantahan yang diberikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang-orang menyimpang di zamannya. Melalui karya-karya ini pula Syaikh Ahmad membantah pandangan Syaikh Muhammad Sa’ad Mungka dan Syaikh Ali Khathib yang gigih mempertahankan tharikat Naqsyabandiyyah.
Sebenarnya melalui judul-judul kitab-kitab Syaikh Ahmad saja kita sudah faham kurang lebihnya bahasan yang disajikan dalam masing-masing kitab trsebut. Misalnya kitab Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’ yang berarti pembelaan yang baik tentang larangan melakukan bid’ah, dapat diasumsikan bahasan dalam kitab ini banyak berbicara masalah bid’ah dan khurafat di tengah masyarakat. Ini menunjukkan bahwa usaha Syaikh Ahmad benar-benar sangat berarti dalam pemurniat Islam di negerinya.
Dalam masalah adat yang menyimpang terutama dalam masalah waris dan harta pusaka, Syaikh Ahmad menulis Ad Da’il Mamu’dan Al Manhajul Masyru’. Kedua buku ini dicetak dalam satu jilid dengan Ad Da’il Masmu’ dicetak dipinggiran Al Manhajul Masyru’.
Tidak hanya sapai di situ perjuangan Syaikh Ahmad dalam membersihkan noda-noda keyakinan umat Islam, beliau juga membantah syubhat-syubhat yang dihembuskan Belanda terutama mempertanyakan keabsahan terjadinya isra’ dan mi’raj di tengah kaum muslimin di Indonesia. Beliau kemudian membantah syubhat-syubhat dalam bukunya, Dha’us Siraj Pada Menyatakan Isra’ dan Mi’raj yang terbit tahun 1312 H. Berikutnya, beliau juga menulis Irsyadul Hayara fi Radd Syubahin Nashara.
Ada kitab Ar Riyadhul Wardiyyah fil Ushul wal Furu’ yang beliau tulis dalam bahasa Melayu huruf ‘Arab, membicarakan masalah dasar-dasar aqidah-tauhid dan fiqih syafi’I praktis supaya menjadi pegangan orang-orang yang balu belajar dan ‘awwam dari kalangan kaum muslimin. Kitab ini sudah dicetak berulang kali. Allahua’lam.[]
sumber:muslim.or.id
0 comments:
Post a Comment