Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya. Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci.
Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih. Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad² lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat
Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain:
1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha...” (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrah
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27). .
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29). .
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42). .
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50). .
8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).
9. Dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah.
Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah. Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitab Fiqih Muhammadiyah yang terdiri dari 3 jilid, yang diterbitkan oleh: Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343-an H.
Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktek ibadah yang rupanya “harus beda” dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail (dalil-dalil), nanti difikir bareng dan dicari-carikan.
Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah.
Untuk ini, ada sebuah tesis yang meneliti hadits-hadits yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih. Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah: bahwa mayoritas hadits-hadits yang dipakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha’if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma’in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin,
Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih 8 plus 3 witir, bagaimana prakteknya? Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi: 4, 4, 3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk Tarawih. Dan tiga rakaat untuk Witir. Model Witir tiga sekaligus ini versi madzhab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu Witir. Ini versi asy-Syafi’i. Tapi pada tahun 1987, praktek shalat Tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH. Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di Masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadits dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadits Muslim lebih shahih ketimbang hadits empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan Majlis Tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushalla di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat Tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.
Kini soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat.
Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan Pak Harto. Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai Departemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu dipakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama menggunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai hadits rukyah dan ikmal. Oleh karena itu, tahun 90-an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muha
Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya. Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus.
Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU. Lalu membuat metode “wujud al-hilal”. Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan
Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah hilal harus derajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajat
0 comments:
Post a Comment